Pembelajaran Untuk Anak Tunanetra

PEMBELAJARAN  UNTUK ANAK TUNANETRA

Terdapat  empat prinsip dalam pembelajaran bagi anak tunanetra bila dibandingkan anak awas pada umumnya (Subagya, 2004).

Pertama:  melakukan duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran pada anak awas ke dalam pembelajaran pada anak tunanetra tanpa melakukan perubahan, penambahan,  dan pengurangan apa pun.

Kedua: melakukan modifikasi terhadap materi, media  dan strategi pembelajaran yaitu sebagian atau keseluruhan materi, media, prosedur dan strategi pembelajaran yang dipergunakan pada pembelajaran anak awas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga baik materi, media, dan strategi pembelajarannya sesuai dengan karakteristik anak.

Ketiga: melakukan substitusi, yaitu mengganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang berlaku pada  pembelajaran anak awas, bahkan mengganti  mata pelajaran  tertentu, misalnya mata pelajaran menggambar diganti dengan apresiasi seni suara atau sastra. Memberikan tambahan pembelajaran/ kegiaatan ekstra kurikuler yang berkaitan dengan aktivitas kompensatif yang tidak ada pada kurikulum reguler. Misalnya kursus  orientasi mobilitas, Activity of dailly living (ADL), computer bicara, dll.

Keempat:  melakukan omisi, yaitu penghilangan  materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak awas. Hal tersebut dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak dapat dilakukan, misalnya   meniadakan materi pembiasan, proyeksi warna,   pada mata pelajaran/ mata kuliah tertentu, dan lain sebagainya. Prinsip  terakhir tersebut jarang dilakukan oleh sebagian besar dosen/ guru dengan pertimbangan  sesulit apa pun semua materi tetap diberikan tetapi menurunkan  target daya serap pembelajaran. Pada kasus pembelajaran materi pembiasan, dosen/ guru tetap menyampaikannya  secara informatif, karena dapat bermanfaat untuk komunikasi dengan anak awas lain, meskipun  verbalisme anak tunatera dapat memanfaatkan kata  visual dalam berkomunikasi dengan peserta didik yang tidak tunanetra.

MODIFIKASI PEMBELAJARAN UNTUK PESERTA DIDIK TUNANETRA

  1. 1.                                                                               Variabel pembelajaran

Menurut Reigeluth (Subagya, 2007) variabel penting dalam pembelajaran, yaitu: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.

  1. a.    Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik, mata pelajaran/ kuliah, kendala, dan karakteristik peserta didik.
Tujuan pembelajaran dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan Umum: pernyataan umum tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini diacukan kepada keseluruhan isi mata pelajaran/ kuliah. Oleh karena itu, tujuan umum akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian makro. Tujuan Khusus: pernyataan khusus tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini diacukan pada konstruk tertentu (apakah fakta, konsep, prosedur, atau prinsip) dari mata pelajaran/ kuliah. Oleh karena itu, tujuan khusus akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian mikro.
Karakteristik mata pelajaran/ kuliah pada hakikatnya mengacu kepada struktur mata pelajaran/ kuliah dan tipe isi. Struktur mata pelajaran/ kuliah diperlukan untuk kepentingan pengembangan strategi pengorganisasian pembelajaran yang optimal, yaitu yang berkaitan dengan pemilihan, penataan urutan, pembuatan rangkuman, dan sintesis bagian-bagian mata pelajaran/ kuliah yang terkait. Tipe isi berkaitan dengan jenis isi yang meliputi: fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.

Kendala didefinisikan sebagai keterbatasan sumber-sumber belajar, seperti: waktu, alat/ media, personalia, dan ruang.

Karakteristik peserta didik didefinisikan sebagai aspek-aspek atau kualitas individu peserta didik. Aspek-aspek ini bisa berupa bakat, motivasi, perilaku, ke-biasaan, kemampuan awal, status sosial ekonomi, kondisi fisik, kondisi mental, dll

  1. b.   Metode pembelajaran terdiri dari 3 jenis, yaitu: a) strategi pengorganisasian, b) strategi penyampaian, dan c) strategi pengelolaan.

Strategi pengorganisasian pembelajaran adalah metode untuk mengorganisasi isi mata pelajaran/ kuliah yang telah dipilih untuk pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.

Strategi penyampaian merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan program pembelajaran. sekurang-kurangnya ada 2 fungsi dari strategi ini, yaitu: (1) menyampaikan isi pembelajaran kepada peserta didik, dan (2) menyediakan informasi/ bahan-bahan yang diperlukan peserta didik untuk menampilkan unjuk-kerja (seperti latihan dan tes). Strategi penyampaian mencakup lingkungan fisik, guru, bahan-bahan pembelajaran, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran. Atau, dengan kata lain, peraga merupakan satu komponen penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Itulah sebabnya, peraga pembelajaran merupakan bidang kajian utama strategi ini. Secara lengkap ada 3 komponen yang perlu diperhatikan dalam memdeskripsikan strategi penyampaian: (1) peraga pembelajaran, (2) interaksi peserta didik dengan peraga, dan (3) bentuk/ struktur belajar mengajar.

Strategi Pengelolaan merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara peserta didik dengan variabel-variabel metode pembelajaran lainnya.

c. Hasil pembelajaran  adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda. Efek ini bisa berupa efek yang sengaja dirancang, karena itu ia merupakan efek yang diinginkan, dan bisa juga berupa efek nyata sebagai hasil penggunaan metode pembelajaran tertentu. Bila acuan pembelajaran adalah pada efek atau hasil pembelajaran yang diinginkan, maka hasil ini harus ditetapkan lebih dulu sebelum menetapkan metode pembelajaran.

Pembelaran dapat diketahui hasilnya harus dilakukan pengukuran/ penilaian hasil belajar peserta didik. Selain itu perlu diukur terhadap efektivitas, efisiensi dan daya tarik pembelajaran

2.  Modifikasi  pembelajaran

Melakukakan modifikasi pembelajaran mengacu pada variable pembelajaran, namun tidak semua variable pembelajaran itu harus dimodifikasi. Modifikasi pembelajaran berfokus pada variabel yang menjadi permasalahan sesuai dengan karakteritik peserta didik tunanetra.

  1. a.       Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran/ kuliah, kendala, dan karakteristik peserta didik.

1)    Modifikasi tujuan pembelajaran dan karakteristik mata pelajaran di kelas awal (SD kelas  I-III) diperlukan, namun untuk level peserta didik (Perguruan Tinggi) tidak perlu dimodifikasi.

2)    Kendala peserta didik perlu dimodifikasi khususnya yang berkaitan dengan waktu, sarana/ alat, ruang sebagai berikut:

a)       Modifikasi  waktu pembelajaran

  • Lebih bijaksana bila dalam pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan  tambahan waktu sedikitnya 20% dengan waktu yang digunakan oleh anak awas.
  • Asumsi  jumlah penambahan waktu itu tidak memiliki dasar yang kuat, karena tiap mata kuliah tidak membutuhkan penambahan waktu yang sama. Mata kuliah statistik yang disajikan dalam bentuk gambar/ denah/ grafik timbul memerlukan waktu yang lebih lama, ketika anak mengidentifikasi table, formula, grafik, sebaliknya mata kuliah filsafat justru relatif lebih cepat. 
  • Kecepatan mengerjakan soal berbalik dengan orang awas (soal non eksakta), jika anak buta lebih cepat soal disajikan dalam bentuk  verbal, maka anak awas lebih cepat dan lebih yakin jika soal disajikan dalam bentuk tertulis. Hal ini disebabkan karena  kecepatan  membaca Braille dengan  huruf cetak  memiliki rentang waktu yang relatif lama.

b)   Modifikasi  sarana/ media

  • Ø Media baca tulis untuk anak tunanetra total (buta) dimodifikasi  dalam huruf Braille, dan anak low vision dapat dimodifikasi dengan tulisan/ huruf diperbesar/ menggunakan media optik sesuai dengan tingkat penglihatannya.
  • Ø Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil modifikasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Modifikasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan.  Misal:
  • Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan voice synthesizer (komputer bicara), jam bicara, Hand Phone bicara,  screen reader,  kompas bicara, kalkulator bicara.
  • Soft ware yang diperlukan: translator Braille: CX, duxbury, MBC, WinBraille, Voice syntheziser: Jaws, dll
  • Embosser: Braillo 400, Braillo 200, Comet, Versapoint, Everest, Index, Mounbothen, Marathon, MBOS, Braille Blazer, dll.
  • Laser can  (tongkat yang dilengakpi detector) untuk membantu tunanetra berjalan dll.
  • Buku bicara (talking book) melalui kaset atau CD (buku digital).
  • Papan catur timbul, sepak bola bunyi, tenis meja (bola bunyi), bridge timbul, static bicyle, Sepatu roda, merupakan alat olah raga tunanetra.
  • Block kis tuntuk menghitung, papan paku untuk sistem koordinat, meteran timbul, meteran bunyi, kalkulator bicara, dll dapat dimanfaatkan pada mata kuliah matematika.
  • Braille Kit
  • Mesin ketik Braille
  • Tongkat putih, Blindford
  • Power Rider
    • odll

 

     c)  Modifikasi pengelolaan kelas

  • § Pengorganisasian kelas membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa modifikasi pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang lain.
  • Penempatan tempat duduk anak tunanetra harus diperhatikan  ketajaman pendengaran antara telinga kanan-kiri. Hindarkan sumber suara dosen tidak dapat diterima anak dengan baik. Kerapian tempat duduk tidak berarti apapun jika anak tunanetra tidak dapat mendengar informasi dosen/ guru.

 

           
  O  O     O  O     O  O  
           
  O  O     O  O    O  O  
           
  X  O     O  X     X  O  
           

 

Keterangan:

X = tempat duduk anak dengan kebutuhan khusus

V

0 = adalah tempat duduk anak rata-rata/ normal/ awas

V  = meja/ kursi  dosen

 

  • Pembuatan kelompok  belajar/ kelompok apapun sebaiknya anak tunanetra  tidak dijadikan satu kelompok, mereka harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan peserta didik tunanetra masih dapat mengerjakan tugas-tugas seperti anak yang lain sekalipun minimal, mereka mendapatkan tugas seperti anak yang lain.
  • Kelas-kelas yang terdapat peserta didik tunanetra sebaliknya jangan diciptakan situasi belajar yang kompetitif, namun hendaknya anak yang unggul dapat dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik tunanetra secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif maka peserta didik tunanetra sering ketinggalan dan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya
  • Anak tunanetra ditempatkan  berdekatan dengan anak yang memiliki kepedulian untuk membantu membacakan yang ditulis dosen/ guru di papan tulis/ layar LCD/OHP atau jika perlu dibuat jadwal pendampingan.
  • Hindarkan penempatan kelas yang bising, hal ini mengakibatkan anak kesulitan mendeteksi antara bunyi pokok dan latar belakang. Suara yang paling kuat (sekalipun bukan bunyi pokok) akan mendominasi pendengarannya.
  •  Kelas-kelas untuk anak tunanetra hendaknya mudah dijangkau (aksesibel),  jika perlu berikan  tanda khusus dan relatif menetap.

d)   Karakteristik mata pelajaran/ mata kuliah

Tidak semua mata kuliah dan atau materi pelajaran membutuhkan modifikasi. Hanya mata kuliah dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari kelainannya yang membutuhkan modifikasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai berikut:

  • Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, Materi kuliah yang banyak membutuhkan fungsi visual dimodifikasi dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail baru kemudian global.
  • Kedalaman materi pelajaran/ kuliah yang memerlukan fungsi visual dan tidak dapat diganti dengan fungsi indra lain diturunkan target pencapaiannya, dan diberikan pengayaan di topik-topik yang mudah diterima dengan indra non visual.

 

b. Modifikasi  metodologi berkaitan dengan strategi pengorganisasian, strategi  penyampaian, dan  strategi pengelolaan.

1)         Strategi pengorganisasian berkaitan dengan pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.

  • Pemilihan dan penataan isi materi tidak memerlukan modifikasi
  • Penyajian  diagram (objek dua dimensi) memerlukan modifikasi dengan mengemboss (menimbulkan) agar dapat diraba tunanetra), sedangkan objek tiga dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau model.
  • Penyajian format/ formula vertikal dapat dimodifikasi dalam format horinsontal, karena penulisan huruf Braille susah disajikan dalam format vertikal.

2) Strategi Penyampaian terdapat 3 komponen yang perlu diperhatikan dalam memdeskripsikan strategi penyampaian: (1) peraga pembelajaran, (2) interaksi peserta didik dengan peraga media, dan (3) bentuk/ struktur belajar mengajar.

a)        Peraga pembelajaran

  • Upayakan setiap anak mendapat kesempatan untuk mengamati (meraba) media yang tersedia.
  • Peraga visual dimodifikasi ke dalam peraga auditif, perabaan, namun tidak semua kesan visual dapat diubah ke dalam kesan non visual. Misal persepsi cahaya, bayangan, benda yang hanya dapat dijangkau dengan penglihatan. Hal ini anak tunanetra cukup diberi kesempatan untuk merasakan gejala yang muncul atau bahkan cukup diberikan cerita tentang itu.
  • Objek tiga dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau model.

b)       Interaksi peserta didik dengan peraga

  • Peraga  hendaknya jangan terlalu besar atau terlalu kecil, yang ideal adalah sejauh kedua tangan dapat mendeteksi objek secara keseluruhan.
  • Penyajian tabel/ diagram perlu penjelasan cara membaca dan maksud tabel/ diagram tersebut.
  • Ada jaminan bahwa peraga itu tidak berbahaya, tidak mudah rusak.

c)        Bentuk/ struktur pembelajaran

  • Bentuk/ struktur pembelajaran tidak memerlukan modifikasi.

2)  Strategi Pengelolaan .

  • Metode pembelajaran untuk orang awas pada prinsipnya dapat diterapkan terhadap peserta didik tunanetra dengan memodifikasi  aktivitas visual ke dalam aktivitas selain visual.
  • Metode ceramah: kata-kata asing atau kata lain yang belum dikenal hendaknya dosen/ guru mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara ucapan dengan tulisan berbeda maka dosen/ guru harus mengeja huruf demi huruf.

     Contoh:

     Kalau (kalo) , what jika  dosen/ guru tidak mengeja anak akan menulis kalo, wot, dll

  • Metode demonstrasi  tidak  boleh dilakukan dengan visualisasi, tetapi yang didemonstrasikan dosen/ guru harus dapat didengar, diraba, dirasakan anak.
  • Praktikum di laboratorium IPA, seklipun anak tidak dapat melihat proses kimiawi, tetapi anak harus diberi informasi setiap perubahan yang terjadi jika perlu anak tunanetra diberi tugas mencatat kejadian yang diucapkan teman kelompoknya.
  • Hindarkan kata-kata ini, itu, untuk mewakili suatu konsep tertentu. Ini, itu yang dimaksud harus diucapkan lengkap dengan bahasa ujaran, sehingga anak tunanetra memahami. Begitu pula memberikan printah kepada peserta didik tunanetra harus menyebut nama anak/ menyentuh bagian tubuh, jika tidak peserta didik tunanetra tidak akan merespon. Misalnya ini ditambah ini sama dengan ini alangkah bijaksana bila dimodifikasi menjadi dua ditambah empat sama dengan enam.   Contoh:

 diujarkan  akar pangkat 3 dari 12/3

  • Kata-kata visual, simbol visual dapat dipakai  dalam memberikan informasi kepada anak tunanetra, sekalipun mereka belum pernah melihat. Misalnya: warna pakaian, warna buah, warna kulit manusia, dll. Hal ini amat berguna untuk bersosialisasi dengan anak awas lain.
  • Jangan menganggap bahwa tunanetra di kelas tidak mengantuk/ tidur, sekalipun anak tidak melihat, atau tidak memiliki bola mata, maka aktivitas  mengantuk, tidur tampak pada raut wajah.

 c.  Hasil pembelajaran

Pembelajaran dapat diketahui hasilnya melalui penilaian hasil belajar peserta didik

1) Tunanetra total

  • Menghindari/ minimalkan penggunaan kata-kata visual yang kurang dipahami anak.
  • Gambar dua dimensi disajikan dalam bentuk gambar timbul/ taktual.
  • Benda-benda tiga dimensi disajikan dalam bentuk asli atau model.
  • Tambahan  waktu  sedikitnya 20% dari waktu yang ditentukan.
  • Semua indra non visual dimanfaatkan untuk keperluan penilaian.
  • Posisi tempat duduk anak memperhatikan kemampuan indra pendengaran.

2)         Low Vison.

  • Memperhatikan kemampuan visual (ketajaman penglihatan) yang dimiliki anak .
  • Posisi tempat duduk anak memperhatikan hal-hal berikut ini:

a)       jarak

b)      ukuran

c)       pencahayaan

d)      kekontrasan

  • Menggunakan alat bantu optik atau non optik yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak.

3)    Penilaian  hasil belajar peserta didik tunanetra dapat dimodifikasi sebagai berikut:

BENTUK TES DIMODIFIKASI
Portofolio kumpulan karya dalam bentuk Braille, CD, Disket, Huruf Cetak
Projek Dikumpulkan dalam bentuk bentuk Braille, CD, Disket, Huruf Cetak
Penilaian produk Tidak perlu modifikasi
Lisan Tetap dilakukan dengan lisan
Tertulis Ditulis dalam huruf Braille, diubah dalam bentuk lisan, CD, disket, huruf cetak, e-mail
Penilaian diri Ditulis dalam huruf Braille, diubah dalam bentuk lisan, CD, disket, huruf cetak, e-mail
Kinerja Tidak perlu modifikasi

 

 

 

Tentang pendidikananaktunanetra

saya adalah saya
Pos ini dipublikasikan di anak tunanetra. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar